Bolehkah Membuat Hoaks dalam Keadaan Perang?


TIPU DAYA DALAM PERANG

Assalaamu'alaykum warahmatullaahi wabarakaatuh,

Kepada Yth. Para Masyaikh di Ponpes Al-Khoirot,

Kalau boleh saya nyuwun bertanya khususnya terkait tipudaya yang khusus dalam keadaan perang. Yang saya fahami adalah bahwa boleh melakukan tipudaya dalam perang, tapi tidak boleh khianat dalam perang. Dari rujukan-rujukan yang saya dapatkan, nampaknya ulama-ulama berkata bahwa maksudnya khianat adalah khianat dalam amaan dan khianat terhadap perjanjian. Dan maksudnya khianat terhadap perjanjian ini maksudnya bukannya tidak boleh membatalkan, tapi tidak boleh khianat atau curang terhadap perjanjian.

Pertanyaan saya adalah:
1. apakah pemahaman umum saya tentang 'khianat dalam perang' di atas sudah tepat?

2. perjanjian seperti apa yang tidak boleh dikhianati?
Sebagian yang saya tanya mengatakan perjanjian apapun bentuknya (tertulis maupun tidak) dan apapun objek perjanjiannya (selama tidak bertentangan dengan syariat) adalah tidak boleh dikhianati, karena mempertimbangkan perintah umum 'amanah' (lawan kata khianat) yang tidak ada dalil yang mengecualikannya saat perang. Beda dengan berbohong yang memiliki dalil pengecualian di masa perang. Sebagian mengatakan bahwa hanya perjanjian damai, gencatan senjata, dan amaan yang dimaksud dalam konteks dalil dan qaul-qaul ulama, maka perjanjian selain itu boleh dikhianati karena dalil umum 'perang adalah tipudaya'. Tapi keduanya saya agak kurang puas dengan penjelasannya, nyuwun pencerahannya.

3. Pahlawan kita Teuku Umar (rahimahullah) pura-pura kerjasama dengan Belanda, untuk kemudian diamanahi senjata dan perbekalan, lalu kemudian Teuku Umar mengkhianati Belanda dan merampas senjata-senjata itu. Tanpa mengurangi rasa hormat, takzim, dan rasa terima kasih atas jasa beliau, apapun jawaban dari pertanyaan ini, dan selalu saya doakan beliau. Ada yang mengatakan bahwa taktik Teuku Umar ini kurang sejalan dengan syariat, karena pura-pura kerjasama ini semacam membuat perjanjian dan kemudian mengkhianatinya. Sebagian lain mengatakan bahwa karena ini bukan termasuk perjanjian damai, gencatan senjata, atau amaan, maka ini khianat yang diperbolehkan. Mohon pencerahannya terkait masalah ini.

Jazakumullaah khairan katsira,

JAWABAN

1. Benar.

2. Perjanjian yang dibuat secara resmi antara dua pihak. Contoh, seperti kasus ketika Yahudi Madinah mengkhianati perjanjian dengan umat Islam.

Nabi bersabda:

الحرب خِدعة

Artinya: Perang itu tipu muslihat. HR. Bukhari, (3029) dan Muslim (58)

Apa yang dimaksud dengan tipu daya dalam hadis tersebut? Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim, hlm. 12/43, sbb:

اتفق العلماء على جواز خداع الكفار في الحرب كيف أمكن الخداع إلا أن يكون فيه نقض عهد أو أمان فلا يحل

Artinya: Para ulama’ bersepakat diperbolehkannya menipu orang kafir dalam peperangan, apapun bentuk tipu muslihat kecuali (tipu muslihat) yang dapat membatalkan perjanjian atau keamanan, maka hal itu tidak diperbolehkan.

Jadi, tipu daya yang dibolehkan itu yang bersifat taktik dan strategi militer. Misalnya, tradisi yang berlaku dalam perang zaman dahulu adalah, memberitahu lawan kalau akan diserang atau melakukan penyerangan di siang hari. Maka, boleh kita menyerang musuh tanpa memberitahu terlebih dahulu, atau melakukan penyerangan di malam hari saat musuh sedang lengah.

Imam Nawawi menambahkan (Syarah Muslim, hlm. 12/43):

وقد صح في الحديث جواز الكذب في ثلاثة أشياء : أحدها في الحرب . قال الطبري : إنما يجوز من الكذب في الحرب المعاريض دون حقيقة الكذب ، فإنه لا يحل ، هذا كلامه ، والظاهر إباحة حقيقة نفس الكذب لكن الاقتصار على التعريض أفضل

Artinya: Ada hadis sahih yang menyatakan bolehnya berbohong dalam tiga keadaan salahsatunya dalam perang. Namun Imam Thabari berkata: Bolehnya berbohong dalam perang itu adalah bohong tidak langsung (memakai bahasa diplomatis), bukan bohong yang hakiki. Ini pandangan Thabari. Yang zhahir (menurut Imam Nawawi - red) boleh juga berbohong secara eksplisit tapi secara implisit itu lebih utama.
Baca detail: Bohong dalam Islam

Jadi, tipu daya dalam hadis tidak terkait dengan perjanjian antara dua pihak. Penipuan atau pengkhianatan antara dua pihak dilarang dalam Islam secara mutlak.

Dalam QS Al-Anfal 8:56 Allah melarang muslim mengkhianati perjanjian:

(Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).

Larangan untuk berkhianat juga ditegaskan oleh Nabi.

Berikut beberapa hadis terkait hal ini:

A. Pengkhianat akan dikenali lewat benderanya

وقال صلى الله عليه وسلم : " لكل غادر لواء يوم القيامة يُعرف به .

Artinya: Setiap orang yang khianat akan memiliki liwa' (bendera) pada hari kiamat. Dia akan dikenali dengan bendera itu (HR. Bukhari Muslim)

B. Tanda Munafik

أربع خلال من كنَّ فيه كان منافقاً خالصاً إذا حدَّث كذب وإذا وعد أخلف وإذا عاهد غدر وإذا خاصم فجر ومن كان فيه خصلة منهن كانت فيه خصلة من النفاق حتى يدعها

Artinya: Empat kerusakan, siapa yang ada pada dirinya, maka dia termasuk benar-benar orang munafik. Kalau berbicara berbohong, kalau berjanji tidak ditepati, kalau bersepakat tidak dipenuhi, kalau berselisih melampaui batas. Siapa yang mempunyai salah satu perangai, maka ia termasuk perangai dari kemunafikan sampai ia meninggalkannya


Imam Malik dalam Al-Muwatho', hlm. 1/335, menyatakan:

وعن مالك قال : بلغني أن عبدالله بن عباس قال : ما ختر قوم بالعهد إلا سلط الله عليهم العدو.الموطأ / باب ما جاء في الوفاء بالعهد

Disampaikan kepadaku bahwa Abdullah bin Abbas berkata, “Tidaklah suatu kaum ketika tidak menepati janji melainkan Allah akan kuasakan musuh kepadanya.

3. Kalau itu melanggar kesepakatan yang tertulis, maka tidak dibolehkan dalam Islam.

TIPU DAYA PERANG (2)

Assalaamu'alaykum,

Terima kasih banyak atas jawabannya. Bolehkah saya menanyakan follow up sedikit?

Pertanyaan No. 3 jawabannya adalah "Kalau itu melanggar kesepakatan yang tertulis, maka tidak dibolehkan dalam Islam".
Nyuwun penjelasannya, apakah kesepakatan yang tidak tertulis (disepakati secara lisan) berarti boleh dilanggar? Karena sekilas nampaknya di penjelasan jawaban No. 2, kesepakatan/perjanjian nampakya tidak menspesifikkan apakah tertulis atau tidak.

Untuk ini, kalau berkenan, apakah bisa masuk kategori [sangat penting] karena merupakan follow up dari pertanyaan Sangat Penting sebleumnya? Kalau tidak, inshaaAllah saya tunggu pun tidak apa-apa..

Jazakallaahu khairan katsira

JAWABAN

Sama saja. Kesepakatan tertulis atau lisan statusnya sama dalam hukum Islam. Prinsipnya kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang atau dua kelompok atau lebih. Namun kesepakatan tertulis lebih memiliki kekuatan legal formal tidak saja zaman ini tapi juga zaman Islam klasik. Sebagaimana dalam konteks Piagam Madinah. Baca detail: Piagam Madinah
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url