Shalat Berjamaah Imam Makmum Berbeda Lantai

Shalat Berjamaah Imam Makmum Berbeda Lantai
Shalat Berjamaah Berbeda Lantai atau Gedung antara iman dan makmum. Misal, imam di lantai satu makmum di lantai dua, apakah sah shalatnya? Kalau sah apa saja syaratnya?

Shalat berjamaah antara imam dan makmum dapat terjadi dan dilakukan dalam berbagai keadaan dan situasi yang berbeda. Semuanya sah hukumnya dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Nawawi shalat berjamaah baru sah apabila terpenuhi 7 (tujuh) syarat yaitu: makmum tidak mendahului imam pada arab kiblat, tahu perbuatan zhahir dari shalat imam, berkumpulnya imam dan makmum di suatu tempat, niat bermakmum, kesesuaian bentuk shalat imam dan makmum dalam perbuatan dan rukun, kesesuaian dengan imam, mengikuti imam. Adapun rincian syarat dan keadaan shalat berjamaah adalah sbb:

A. Imam dan Makmum Satu Masjid dan Satu Lantai

Ini yang sering terjadi. Imam dan makmum berada di lantai yang sama di sebuah masjid atau musholla. Dalam hal ini maka Hukum berjamaahnya sah tanpa syarat khusus. Al-Bajuri, hlm. 1/199, menjelaskan syarat umum shalat berjamaah bagi makmum:

.و هو أى المأموم عالم بصلاته أى الإمام بمشاهدة المأموم له أو بمشاهدته بعض صف أجزأه أى كفاه ذلك في صحة الإقتداء به، وقوله أو بمشاهدته بعض صف أى أو نحو ذلك كسماع صوت الإمام أو صوت مبلغ
Artinya: Makmum harus mengetahui shalatnya imam dengan cara (a) melihat imam secara langsung, atau (b) melihat sebagian barisan makmum yang lain, atau (c) mendengar suara imam atau suara mubaligh (penyampai suara imam).

Namun demikian tetap dianjurkan dan disunnahkan agar barisan lurus, rapat dan tidak membuat barisan baru kecuali setelah barisan di depan penuh. Berdasarkan beberapa hadits berikut:

1. Hadis dari Anas bin Malik, Rasulullah memerintahkan makmumnya,

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا
Artinya: ”Luruskan shaf kalian dan rapatkan.” (HR. Bukhari 719)

2. Dari Anas bin Malik, Rasulullah bersabda,

سوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَفِّ مِنْ تَماَمِ الصَّلَاةِ
Artinya: ”Luruskan shaf kalian, karena meluruskan shaf bagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Muslim 433).

3. Hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah memerintahkan,

أقيموا الصَفَّ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ
Artinya: Luruskan shaf dalam shalat, karena meluruskan shaf bagian dari kesempurnaan shalat. (HR. Muslim 435)

4. Hadis Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan,

أَتِـمُّوْا الصَّفَّ الـمُقَدَّمَ، ثُمَّ الَّذِي يَلِيْهِ
“Penuhi shaf depan, kemudian shaf berikutnya…” (HR. Abu Daud 671).

Imam Nawawi dalam Raudah At-Talibin, hlm. 1/358, menyebutkan ada 7 syarat bermakmum yaitu makmum tidak mendahului imam pada arab kiblat, tahu perbuatan zhahir dari shalat imam, berkumpulnya imam dan makmum di suatu tempat, niat bermakmum, kesesuaian bentuk shalat imam dan makmum dalam perbuatan dan rukun,
kesesuaian dengan imam, mengikuti imam.

B. Imam dan Makmum Satu Masjid tapi Berbeda Lantai

Contoh, imam berada di lantai bawah sedangkan makmum berada di lantai atas. Atau, imam berada di lantai atas, sedangkan makmum di lantai bawah. Ini sering terjadi di daerah perkotaan yang masjid atau musholla-nya kurang luas sedangkan jamaahnya banyak sehingga tidak cukup berjamaah di satu lantai.

Dalam hal ini, maka yang diperlukan sebagai syarat sahnya shalat berjamaah adalah adanya manfadz atau jalan tembus yang menghubungkan antara imam dan makmum. Dalam kasus yang umum terjadi, jalan terusan itu umumnya berupa tangga naik yang berada di sebelah kanan dan kiri masjid. Sama saja berada di dalam masjid atau di luar tembok masjid. Letak anak tangga ke lantai atas yang seperti ini sudah sah. Karena, jalan terusan itu tidak harus ada di depannya makmum. Boleh di belakang atau sebelah kanan atau kirinya makmum. Ba Alawi dalam Bughiyatul Mustarsyidin, hlm. 147, menyatakan:

لا يشترط في المسجد كون المنفذ أمام المأموم أو بجانبه بل تصح القدوة وإن كان خلفه ، وحينئذ لو كان الإمام في علو والمأموم في سُفْل أو عكسه كبئر ومنارة وسطح في المسجد ، وكان المَرْقَى وراء المأموم بأن لا يصل إلى الإمام إلا بازورار بأن يولي ظهره القبلة ، صح الاقتداء لإطلاقهم صحة القدوة في المسجد ، وإن حالت الأبنية المتنافذة الأبواب إليه وإلى سطحه ، فيتناول كون المرقى المذكور أمام المأموم أو وراءه أو يمينه أو شماله ،
بل صرح في حاشيتي النهاية والمحلي بعدم الضرر ، وإن لم يصل إلى ذلك البناء إلا بازورار وانعطاف ، نعم إن لم يكن بينهما منفذ أصلاً لم تصح القدوة على المعتمد
Artinya: Tidak disyaratkan dalam suatu masjid adanya jalan terusan (manfadz) itu berada di depan makmum. Bahkan sah bermakmum walaupun manfadz itu berada di belakang makmum. Oleh karena itu, apabila imam ada di atas sedangkan makmum di bawah atau sebaliknya seperti sumur dan menara dan atap di masjid, sedangkan tangga berada di belakang imam sehingga makmum tidak bisa sampai pada imam kecuali dengan berpaling yakni dengan memalingkan punggungnya dari kiblat, maka kemakmumannya tetap sah karena ulama mengesahkan bermakmum di masjid secara mutlak. Walaupun ada bangunan yang menghalangi makmum menuju imam. Jadi, sah adanya tangga di depan makmum, atau di belakangnya, atau di kanan atau kiri makmum. Bahkan, dalam Hasyiyah Nihayah dan Mahalli dijelaskan tidak apa-apa walaupun makmum tidak sampai pada bangungan itu kecuali dengan berpaling dan berputar. Tapi, apabila tidak ada manfadz (jalan terus) sama sekali antara imam dan makmum maka bermakmumnya tidak sah menurut qaul mu'tamad (pandangan yang otoritatif).

Selain adanya jalan tembus, syarat lain tentu saja harus terdengarnya suara imam bagi langsung atau melalui mubaligh atau speaker/pengeras suara sebagaimana disebutkan dalam pernyataan Ba Alawi di atas.

Terkait bolehnya lokasi imam dan makmum berada di lokasi berbeda, Imam Nawawi dalam Raudoh Al-Tolibin, hlm. 1/468, juga menyatakan hal yang sama:

إذا كانا في مسجد، صح الاقتداء، قربت المسافة بينهما أم بعدت لكبر المسجد، وسواء اتحد البناء أم اختلف، كصحن المسجد، وصُفَته، أو منارته وسرداب فيه، أو سطحه وساحته، بشرط أن يكون السطح من المسجد.... وشرط البناءين في المسجد، أن يكون باب أحدهما نافذاً إلى الآخر. وإلا، فلا يعدان مسجداً واحداً. وإذا حصل هذا الشرط، فلا فرق بين أن يكون الباب بينهما مفتوحاً، أو مردوداً مغلقاً، أو غير مغلق
Artinya: Apabila imam dan makmum di dalam satu masjid maka kemakmumannya sah. Sama saja jarak antara imam dan makmum dekat atau jauh karena besarnya masjid. Baik dalam satu bangunan atau berbeda. Seperti halaman masjid dan gedung masjid, atau menara masjid dan ruangan dalamnya, bagian atas masjid dan halamannya, dengan syarat bagian atas itu menjadi bagian dari masjid .... Adapun syarat kedua bangunan yang berada di masjid itu salah satu pintunya harus tembus ke yang lain. Apabila tidak demikian maka keduanya tidak dianggap satu masjid. Apabila terpenuhi syarat ini, maka tidak ada bedanya apakah pintu tersebut terbuka atau tertutup terkunci atau tidak terkunci.

C. Imam di Masjid, Makmum di Luar Masjid

Wahbah Zuhaily dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, hlm. 2/1245, menjelaskan:

”الحال الثالث: أن يكون أحدهما في المسجد، والآخر خارجه فمن ذلك، أن يقف الامام في مسجد، والمأموم في موات متصل به. فإن لم يكن بينهما حائل، جاز، إذا لم تزد المسافة على ثلاث مائة ذراع."
Artinya: Salah satu imam atau makmum di masjid sedangkan yang lain di luar masjid. Seperti imam berdiri di masjid, sedangkan makmum di tempat lain yang berhubungan dengan masjid. Dalam hal ini apabila tidak ada penghalang antara imam dan makmum maka hukumnya boleh asalkan jaraknya tidak melebihi 300 dzira' atau kira-kira 150 meter.

D. Imam dan Makmum di Lokasi Bukan Masjid

Dalam hal ini Imam Nawawi dalam Al-Majmuk, hlm. 4/216, membagi ke dalam dua keadaan.

“الحال الثاني: أن يكون في غير مسجد، وهو ضربان
أحدهما: أن يكون في فضاء فيجوز الاقتداء، بشرط أن لا يزيد ما بينهما على ثلاث مائة ذراع تقريباً على الأصح. وعلى الثاني: تحديد. والتقريب مأخوذ من العرف على الصحيح، وقول الجمهور. وعلى الثاني: مما بين الصفين في صلاة الخوف. ولو وقف خلف الإمام صفان، أو شخصان، أحدهما وراء الآخر، فالمسافة المذكورة تعتبر بين الصف الأخير، أو الصف الأول، أو الشخص الأخير والأول، ولو كثرت الصفوف، وبلغ ما بين الإمام والاخير فرسخاً، جاز.

الضرب الثاني: أن يكونا في غير فضاء فإذا وقف أحدهما في صحن دار أو صفتها والآخر في بيت، فموقف المأموم، قد يكون عن يمين الإمام أو يساره، وقد يكون خلفه. وفيه طريقتان. إحداهما: قالها القفال وأصحابه، وابن كج، وحكاها أبو علي في «الافصاح» عن بعض الأصحاب: أنه يشترط فيما إذا وقف من أحد الجانبين، أن يتصل الصف من البناء الذي فيه الامام، إلى البناء الذي فيه المأموم، بحيث لا تبقى فرجة تسع واقفاً؛ فإن بقيت فرجة لا تسع واقفاً، لم يضر على الصحيح. ولو كان بينهما عتبة عريضة تسع واقفاً، اشترط وقوف مصلّ فيها وإن لم يمكن الوقوف عليها، فعلى الوجهين في الفرجة اليسيرة. وأما إذا وقف خلف الإمام، ففي صحة الاقتداء وجهان. أحدهما: البطلان. وأصحهما: الجواز إذا اتصلت المصفوف وتلاحقت. ومعنى اتصالها، أن يقف رجل، أو صف في آخر البناء الذي فيه الإمام، ورجل، أو صف في أول البناء الذي فيه المأموم، بحيث لا يكون بينهما أكثر من ثلاثة أذرع. والثلاث للتقريب.
Artinya: Keadaan kedua (yakni keadaan berkumpulnya imam dan makmum dalam suatu tempat) adalah shalat berjamaah dilakukan di tempat bukan masjid. Dalam hal ini ada dua macam. Satu, kedua imam-makmum berada di ruang terbuka. Maka boleh bermakmum dengan syarat jarak tidak lebih dari 300 dzira' (sekitar 150 meter). Dua, keduanya berada di tempat tertutup atau yang tidak terbuka...
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url