Menjadi Pelayan Non-Muslim Pemakan Babi
MENJADI PELAYAN NON-MUSLIM PEMAKAN BABI
assalamualaikum ustad
saya mau bertanya
saya seorang pembantu rumah tangga di luar negeri
majikan saya setiap hari makan daging babi, sebagai pembantu otomatis saya menyentuh daging babi tersebut,alat masaknya pun tidak mungkin saya cuci 7 kali seperti yang di ajarkan Nabi SAW.,meskipun saya tidak makan dagingnya,tapi bekas"nya pasti masih tersisa,dan sebenarnya itu membuat hati saya menolak
.menurut ustad,bagaimana hukumnya makanan yang saya makan,dan uang yang saya peroleh?apakah termasuk harta yang haram?
.terima kasih sebelumnya
.wassalam
JAWABAN
Pertama, terkait kenajisan daging babi masih menjadi perbedaan para ulama fikih. Menurut madzhab Syafi'i, babi memang najis. Namun cukup dibasuh satu kali saja, ini pendapat Imam Syafi'i sendiri. Jadi berbeda dengan najis anjing. Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, 1/448 menyatakan:
وذهب أكثر العلماء إلى أن الخنزير لا يفتقر إلى غسله سبعاً، وهو قول الشافعي، وهو قوي في الدليل
Baca detail: http://www.alkhoirot.net/2012/05/najis.html#8
Adapun status daging babi jelas haram dimakan. Sebagaimana tersebut secara tegas dalam QS Al-Maidah 5:3.
Kedua, hukum seorang muslim bekerja pada non-muslim itu dirinci: (a) boleh apabila tidak terkait perkara haram seperti mencuci, memasak masakan halal dll; (b) haram apabila mengerjakan sesuatu yang haram seperti memasak babi, menyediakan minuman keras, dll.
Dalam kitab Al-Mausuah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, hlm. 19/45 dijelaskan:
اتفق الفقهاء على جواز خدمة الكافر للمسلم . واتفقوا كذلك على جواز أن يؤجر المسلم نفسه للكافر في عمل معين في الذمة، كخياطة ثوب وبناء دار، وزراعة أرض وغير ذلك، لأن عليا رضي الله عنه أجر نفسه من يهودي يسقي له كل دلو بتمرة، وأخبر النبي صلى الله عليه وسلم بذلك فلم ينكره . ولأن الأجير في الذمة يمكنه تحصيل العمل بغيره. كما اتفقوا على أنه لا يجوز للمسلم أن يؤجر نفسه للكافر لعمل لا يجوز له فعله، كعصر الخمر ورعي الخنازير وما أشبه ذلك
Artinya: Ahli fikih sepakat atas bolehnya pelayanan nonmuslim bagi muslim. Begitu juga bolehnya muslim bekerja pada kafir dalam pekerjaan tertentu seperti menjahit baju, membangun rumah, menanam ladang, dll. Karena Ali bin Abu Talib pernah bekerja pada orang Yahudi dan mendapat gaji satu kurma untuk setiap siraman dan Ali mengabarkan hal itu pada Nabi dan tidak diingkari... Ulama juga sepakat bahwa muslim tidak boleh bekerja pada orang kafir untuk pekerjaan yang haram seperti memeras khamar, menggembala babi, dll.
Dari penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa gaji anda ada yang halal dan ada yang haram. Bercampurnya harta halal dan haram dalam Islam disebut dengan syubhat. Adapun hukum memakan harta syubhat adalah boleh menurut sebagian ulama termasuk Imam Ghazali. Baca detail: Hukum Harta Syubhat
JODOH: RAGU PADA CALON
Assalamualaikum wr wb
Ustad/ustadzah saya ingin bertanya. Ketika saya mengikuti kegiatan mengaji, ustad yang mengajari saya tertarik kpd saya. Kemudian beliau mengutarakn keinginannya untuk mentaaruf saya. Namun saya bingung untuk menjawabnya karena saya sendiri blm mngenal baik dan baru bertemu 3x pertemuan. Kebetulan ibu saya jg ikut mengaji tapi beda kelas dan sudah akrab dilingkungan masjid. Ketika saya ceritakan ke ibu saya ttg keinginan ustad saya mentaaruf, ibu saya jg bingung menjawabnya, dan malah menyuruh saya cepat cepat kluar dari pengajian.
Memang ada beberapa keraguan dibenak saya ttg ustad tersebut dan ttg diri saya, diantaranya :
1. Beliau pernah menikah selama 2 tahun, lalu bercerai tapi belum memiliki anak.
2. Status ekonomi beliau yg berasal dr kluarga krg mampu dan pekerjaan utamanya hanya mengajar agama di sekolah dan majelis taklim, sedangkan saya sndiri adalah tulang punggung untuk kedua orang tua saya. Bagaimana nnt jika berumah tangga sedangkan suami saya hanya brpenghasilan pas pasan sedangkan ada kewajiban lain yang harus saya pikul.
3. Lingkungan sekitar rumah dan keluarga besar saya adalah lingkungan yang cenderung sering merendahkan dan menghina thd org yang kurang mampu.
4. Bagaimana nanti jika ayah ibu saya istilahnya "digojloki" dan selalu dibuat olokan ttg suami saya jika saya menerima pinangan ustad tadi.
5. Usia saya sdh lebih dari 30 tahun dan sudah waktunya untuk menikah.
Dari masalah tersebut, bagaiman cara saya memutuskan jawaban kepada ustad tersebut. Saya jg tidak mau gegabah dlm mengambil tindakan dengan cara kluar dgn tiba tiba dari pengajian dan sok cuek kepada ustad tersebut, karena dalam satu kelas pengajian ini juga ada beberapa yg mengetahui ttg hal ini.
Mohon bantuannya ya Ustad/Ustadzah
Wassalamualaikum wr wb
Terima kasih
JAWABAN
Sebaiknya anda tidak terburu-buru mengambil keputusan. Baik keputusan iya atau tidak. Silahkan meminta waktu yang agak lama untuk memutuskan. Selama masa tersebut bersikaplah biasa padanya. Jangan terlalu dekat apalagi sampai berduaan. Perhatikan saja perilakunya dan tanyakan karakternya pada orang-orang yang sudah lebih lama mengenalnya.
Ingat, ustadz itu adalah orang yang relatif pintar ilmu agama. Namun belum tentu 'pintar' dalam karakter dan akhlaknya. Karena itu, berhati-hatilah pada ustadz sebagaimana anda berhati-hati pada preman. Ini agar anda bersikap waspada dan tidak terjebak pada tampilan luar seseorang. Oleh karena itu, jangan pernah mau untuk diajak berduaan. Karena, dalam Islam berduaan secara fisik adalah haram. Baca detail: Hukum Kholwat
Setelah anda mengenal dia lebih lama baik dari teman-teman atau dari pengamatan anda sendiri secara langsung atau dari keadaan dan kondisi keluarganya, maka disitulah anda dapat mengambil keputusan. Baca juga: Cara Memilih Jodoh
HUKUM MAKAN PAKAI SUMPIT
Assalamualaikum Warahmatullah...
Ustadz mohon penjelasannya,
Bagaimana hukum dalam islam makan menggunakan sumpit, apakah diperbolehkan ? Saya pernah makan ditempat warung mie kebetulan pemiliknya juga muslim… Klu tidak diperbolehkan apakah kita harus mensucikan diri dengan mandi wajib bilamana sudah terlanjur menggunakan alat makan sumpit tersebut…? Atas penjelasan ustadz saya ucapkan terima kasih, wassalam…
JAWABAN
Hukumnya boleh makan pakai sumpit. Asalkan sumpitnya terbuat dari bahan yang suci. Tidak najis. Pada dasarnya hukum asal dari segala sesuatu yang terkait masalah duniawi itu adalah halal kecuali ada dalil khusus yang mengharamkannya. Baca detail: Kaidah Fikih